Website Resmi LSM GASPARI

Website Resmi LSM GASPARI
LEMBAGA GASPARI

Rabu, 13 November 2019

SOSIALISASI Pendidikan Hukum Sipil

SOSIALISASI Pendidikan Hukum Sipil

DEFENISI DASAR HUKUM "PENGHIBAHAN"

Dasar Hukum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia sebagai berikut :


BERIKUT BERDASARKAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

Arti Hibah
Di dalam hukum positif, mengenai hibah diatur dalam Pasal 1666 – Pasal 1693 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).

 Pengertian hibah terdapat dalam Pasal 1666 KUHPerdata, yaitu suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.

Syarat, Tata Cara, dan Akta Hibah
Berikut kami uraikan syarat dan tata cara hibah berdasarkan KUHPerdata:

  1. Semua orang boleh memberikan dan menerima hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak mampu untuk itu. Anak-anak di bawah umur juga tidak boleh menghibahkan sesuatu kecuali dalam hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu KUHPerdata;[1]S
  2. Suatu hibah harus dilakukan dengan suatu akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris;[2]
  3. Suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan suatu akibat mulai dari penghibahan dengan kata-kata yang tegas yang diterima oleh si penerima hibah;[3]P
  4. Penghibahan kepada orang yang belum dewasa yang berada di bawah kekuasaan orang tua harus diterima oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua. Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh Pengadilan Negeri. [4]


Sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), bagi mereka yang tunduk kepada KUHPerdata, akta hibah harus dibuat dalam bentuk tertulis dari Notaris sebagaimana yang kami sebutkan di atas. Namun, setelah lahirnya PP 24/1997, setiap pemberian hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.






Pembuatan akta hibah ini dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.[5]

Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa hibah tanah tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta yang dibuat oleh PPAT, yakni berupa akta hibah. Jadi, bila seorang kakak ingin menghibahkan tanah serta bangunannya kepada adik kandungnya seperti dalam cerita Anda, hibah itu wajib dibuatkan akta hibah oleh PPAT. Selain itu, perbuatan penghibahan itu dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua saksi.

Selanjutnya, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar dan PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan kepada para pihak yang bersangkutan.[6]


Pajak Penghasilan
Kemudian, kami akan menjawab pertanyaan Anda lainnya mengenai bagaimana penghitungan pajak bagi tanah dan bangunan yang dihibahkan. Hibah atas Tanah dan/atau Bangunan dari kakak ke adik kandungnya merupakan objek Pajak Penghasilan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU 36/2008”) yang menyatakan:

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.”

Yang dimaksud dengan “keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah hubungan darah antara ayah atau ibu dengan anaknya. Hubungan kakak dengan adiknya bukanlah hubungan yang dimaksud. Oleh karena itu, mengacu ketentuan di atas, maka pajak penghasilan dikenakan terhadap hibah yang diberikan kakak ke adik kandungnya. Dengan kata lain, hibah tanah dan bangunan yang dilakukan oleh kakak kepada adik kandungnya merupakan objek Pajak Penghasilan (“PPh”).

Mengenai PPh atas hibah tanah dan/atau bangunan yang diterima oleh adik kandung tersebut dapat dilihat lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (“PP 34/2016”)Pasal 1 ayat (1) dan (2) PP 34/2016 mengatur sebagai berikut:

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:
a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.

Besarnya PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.[7] Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.[8]

Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh, salah satunya adalah orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60 juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.[9]

Selain PPh yang dikenakan terhadap kakak sebagai pemberi hibah, terhadap adik kandung yang menjadi penerima hibah atas tanah dan/atau bangunan ini dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”).

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Hibah
Berdasarkan Pasal 1 angka 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU 28/2009”)BPHTB yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Objek Pajak BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang meliputi:[10]
a. pemindahan hak karena:
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; atau
13) hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.

Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah.[11] Untuk itu, mengenai BPTHB Anda perlu melihat kembali peraturan di daerah setempat.


Berdasarkan Perda DKI Jakarta 18/2010, tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).[12] Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Dalam hal hibah, maka Nilai Perolehan Objek Pajaknya adalah nilai pasar.[13] Saat terutangnya pajak BPHTB ditetapkan untuk hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.[14]

Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak (nilai pasar) tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.[15]

Cara Menghitung BPHTB Hibah:[16]
Tarif BPTHB x (Nilai Pasar/NJOP – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak)

Besaran Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (“NPOPTKP”) ditetapkan sebagai berikut:[17]
a. besaran Rp 80 juta untuk setiap Wajib Pajak; dan
b. besaran Rp 350 juta untuk Waris dan Hibah Wasiat.

Dasar hukum:




[1] Pasal 1677 KUHPerdata
[2] Pasal 1682 KUHPerdata
[3] Pasal 1683 KUHPerdata
[4] Pasal 1685 KUHPerdata
[5] Pasal 38 ayat (1) PP 24/1997
[6] Pasal 40 PP 24/1997
[7] Pasal 2 ayat (1) huruf a PP 34/2016
[8] Pasal 2 ayat (2) huruf e PP 34/2016
[9] Pasal 6 huruf a PP 34/2016
[10] Pasal 85 ayat (1) dan (2) UU 28/2009
[11] Pasal 88 UU 28/2009
[12] Pasal 6 Perda DKI Jakarta 18/2010
[13] Pasal 87 ayat (1) dan (2) huruf c UU 28/2009
[14] Pasal 90 ayat (1) huruf c UU 28/2009
[15] Pasal 87 ayat (3) UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (3) Perda DKI Jakarta 18/2010
[16] Pasal 89 ayat (1) UU 28/2009 dan Pasal 7 Perda DKI Jakarta 18/2010
[17] Pasal 13 ayat (1) Pergub 13/2016
[18] Pasal 3 Pergub DKI Jakarta 126/2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar