Kamis, 09 April 2020
Kamis, 21 November 2019
Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP)
Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP)
Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) merupakan hak bagi pelapor. Dalam hal menjamin akuntabilitas dan transparansi penyelidikan /penyidikan, penyidik wajib memberikan SP2HP kepada pihak pelapor baik diminta atau tidak diminta secara berkala.
Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 39 ayat 1, berbunyi dalam hal menjamin akuntabilitas dan transparansi penyidikan, penyidik wajib memberikan SP2HP kepada pihak pelapor baik diminta atau tidak diminta secara berkala paling sedikit 1 kali setiap 1 bulan.
SP2HP sekurang-kurangnya memuat tentang:
- pokok perkara;
- tindakan penyidikan yang telah dilaksanakan dan hasilnya;
- masalah/kendala yang dihadapi dalam penyidikan;
- rencana tindakan selanjutnya; dan
- himbauan atau penegasan kepada pelapor tentang hak dan kewajibannya demi kelancaran dan keberhasilan penyidikan.
SP2HP yang dikirimkan kepada pelapor, ditandatangani oleh Ketua Tim Penyidik dan diketahui oleh Pengawas Penyidik, tembusannya wajib disampaikan kepada atasan langsung.
SP2HP merupakan layanan kepolisian yang memberikan informasi kepada masyarakat sampai sejauh mana perkembangan perkara yang ditangani oleh pihak Kepolisian. Sehingga dengan adanya transparansi penanganan perkara, masyarakat dapat menilai kinerja Kepolisian dalam menangani berbagai perkara tindak pidana yang terjadi di masyarakat.
Dalam SP2HP, di sisi pojok kanan atas tertera kode yang mengindikasikan keterangan:
A1: Perkembangan hasil penelitian Laporan;- A2: Perkembangan hasil penyelidikan blm dapat ditindaklanjuti ke penyidikan;
- A3: Perkembangan hasil penyelidikan akan dilakukan penyidikan;
- A4: Perkembangan hasil penyidikan;
- A5: SP3 (Surat Perintah Pemberhentian Penyelidikan)
Interval pemberian SP2HP
SP2HP pertama kali diberikan adalah pada saat setelah mengeluarkan surat perintah penyidikan dalam waktu 3 (tiga) hari Laporan Polisi dibuat. SP2HP yang diberikan kepada pelapor berisi pernyataan bahwa laporan telah diterima, nama penyidik dan nomor telepon/HP.
Waktu pemberian SP2HP pada tingkat penyidikan untuk kasus :
- Kasus ringan, SP2HP diberikan pada hari ke-10, hari ke-20 dan hari ke-30
- Kasus sedang, SP2HP diberikan pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45 dan hari ke-60.
- Kasus sulit, SP2HP diberikan pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45, hari ke-60, hari ke-75 dan hari ke 90.
- Kasus sangat sulit, SP2HP diberikan pada hari ke-20, hari ke-40, hari ke-60, hari ke-80, hari ke-100 dan hari ke-120.
Tahap penyelesaian dihitung pada saat penyerahan berkas perkara yang pertama.
Bila tidak diberikan / mendapatkan SP2HP
Bahwa mengenai penyampaian SP2HP kepada pelapor/pengadu atau keluarga tidak diatur waktu perolehannya. Dahulu dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) Perkap No. 12 Tahun 2009 (yang saat ini sudah dicabut dan diganti dengan berlakunya Perkap No. 14 Tahun 2012) disebutkan setiap bulan paling sedikit 1 (satu) penyidik secara berkala wajib memberikan SP2HP kepada pihak pelapor baik diminta maupun tidak diminta, namun dalam Perkap No. 14 Tahun 2012 tidak lagi diatur mengenai waktu perolehannya.
Oleh karena itu untuk mengetahui perkembangan proses penyidikan yang sedang berlangsung, pihak pelapor dapat mengajukan permohonan untuk dapat diberikan SP2HP kepada pihak kepolisian terkait, sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a Perkap No. 21 Tahun 2011 juncto Pasal 12 huruf c Perkap No. 16 tahun 2010
Setiap penerbitan dan penyampaian SP2HP, maka Penyidik wajib menandatangani dan menyampaikan tembusan kepada atasannya. Dengan SP2HP inilah pelapor atau pengadu dapat memantau kinerja kepolisian dalam menangani kasusnya. Sewaktu-waktu, pelapor atau pengadu dapat juga menghubungi Penyidik untuk menanyakan perkembangan kasusnya. Jika Penyidik menolak untuk memberikan SP2HP, maka kita dapat melaporkannya ke atasan Penyidik tersebut. Dan jika atasan Penyidik tersebut juga tidak mengindahkan laporan kita, maka kita dapat melaporkannya ke Divisi Propam Kepolisian Daerah terkait.
Sumber Informasi Humas Mabes Polri
https://www.polri.go.id/
Rabu, 13 November 2019
SOSIALISASI Pendidikan Hukum Sipil
SOSIALISASI Pendidikan Hukum Sipil
DEFENISI DASAR HUKUM "PENGHIBAHAN"
Dasar Hukum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia sebagai berikut :
BERIKUT BERDASARKAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA
Arti Hibah
Di dalam hukum positif, mengenai hibah diatur dalam Pasal 1666 – Pasal 1693 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Pengertian hibah terdapat dalam Pasal 1666 KUHPerdata, yaitu suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Syarat, Tata Cara, dan Akta Hibah
Berikut kami uraikan syarat dan tata cara hibah berdasarkan KUHPerdata:
- Semua orang boleh memberikan dan menerima hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak mampu untuk itu. Anak-anak di bawah umur juga tidak boleh menghibahkan sesuatu kecuali dalam hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu KUHPerdata;[1]S
- Suatu hibah harus dilakukan dengan suatu akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris;[2]
- Suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan suatu akibat mulai dari penghibahan dengan kata-kata yang tegas yang diterima oleh si penerima hibah;[3]P
- Penghibahan kepada orang yang belum dewasa yang berada di bawah kekuasaan orang tua harus diterima oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua. Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh Pengadilan Negeri. [4]
Sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), bagi mereka yang tunduk kepada KUHPerdata, akta hibah harus dibuat dalam bentuk tertulis dari Notaris sebagaimana yang kami sebutkan di atas. Namun, setelah lahirnya PP 24/1997, setiap pemberian hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembuatan akta hibah ini dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.[5]
Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa hibah tanah tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta yang dibuat oleh PPAT, yakni berupa akta hibah. Jadi, bila seorang kakak ingin menghibahkan tanah serta bangunannya kepada adik kandungnya seperti dalam cerita Anda, hibah itu wajib dibuatkan akta hibah oleh PPAT. Selain itu, perbuatan penghibahan itu dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua saksi.
Selanjutnya, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar dan PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan kepada para pihak yang bersangkutan.[6]
Mengenai bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT (termasuk akta hibah) terdapat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Anda dapat simak pula penjelasan terkait ini dalam artikel Perubahan Blangko Akta-akta PPAT (AJB, Akta Hibah, APHT dll.).
Pajak Penghasilan
Kemudian, kami akan menjawab pertanyaan Anda lainnya mengenai bagaimana penghitungan pajak bagi tanah dan bangunan yang dihibahkan. Hibah atas Tanah dan/atau Bangunan dari kakak ke adik kandungnya merupakan objek Pajak Penghasilan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU 36/2008”) yang menyatakan:
“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.”
Yang dimaksud dengan “keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah hubungan darah antara ayah atau ibu dengan anaknya. Hubungan kakak dengan adiknya bukanlah hubungan yang dimaksud. Oleh karena itu, mengacu ketentuan di atas, maka pajak penghasilan dikenakan terhadap hibah yang diberikan kakak ke adik kandungnya. Dengan kata lain, hibah tanah dan bangunan yang dilakukan oleh kakak kepada adik kandungnya merupakan objek Pajak Penghasilan (“PPh”).
Mengenai PPh atas hibah tanah dan/atau bangunan yang diterima oleh adik kandung tersebut dapat dilihat lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (“PP 34/2016”). Pasal 1 ayat (1) dan (2) PP 34/2016 mengatur sebagai berikut:
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:
a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
Besarnya PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.[7] Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.[8]
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh, salah satunya adalah orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60 juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.[9]
Selain PPh yang dikenakan terhadap kakak sebagai pemberi hibah, terhadap adik kandung yang menjadi penerima hibah atas tanah dan/atau bangunan ini dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”).
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Hibah
Berdasarkan Pasal 1 angka 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU 28/2009”), BPHTB yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Objek Pajak BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang meliputi:[10]
a. pemindahan hak karena:
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; atau
13) hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.
Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah.[11] Untuk itu, mengenai BPTHB Anda perlu melihat kembali peraturan di daerah setempat.
Berdasarkan Perda DKI Jakarta 18/2010, tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).[12] Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Dalam hal hibah, maka Nilai Perolehan Objek Pajaknya adalah nilai pasar.[13] Saat terutangnya pajak BPHTB ditetapkan untuk hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.[14]
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak (nilai pasar) tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.[15]
Cara Menghitung BPHTB Hibah:[16]
Tarif BPTHB x (Nilai Pasar/NJOP – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak)
a. besaran Rp 80 juta untuk setiap Wajib Pajak; dan
b. besaran Rp 350 juta untuk Waris dan Hibah Wasiat.
Dasar hukum:
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
[1] Pasal 1677 KUHPerdata
[2] Pasal 1682 KUHPerdata
[3] Pasal 1683 KUHPerdata
[4] Pasal 1685 KUHPerdata
[5] Pasal 38 ayat (1) PP 24/1997
[6] Pasal 40 PP 24/1997
[7] Pasal 2 ayat (1) huruf a PP 34/2016
[8] Pasal 2 ayat (2) huruf e PP 34/2016
[9] Pasal 6 huruf a PP 34/2016
[10] Pasal 85 ayat (1) dan (2) UU 28/2009
[11] Pasal 88 UU 28/2009
[12] Pasal 6 Perda DKI Jakarta 18/2010
[13] Pasal 87 ayat (1) dan (2) huruf c UU 28/2009
[14] Pasal 90 ayat (1) huruf c UU 28/2009
[15] Pasal 87 ayat (3) UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (3) Perda DKI Jakarta 18/2010
[16] Pasal 89 ayat (1) UU 28/2009 dan Pasal 7 Perda DKI Jakarta 18/2010
[17] Pasal 13 ayat (1) Pergub 13/2016
[18] Pasal 3 Pergub DKI Jakarta 126/2017
Discretions Low Black
Discretions Low Black
LSM Gerakan Aspirasi Pemuda Aceh Rakyat Indonesia (GASPARI) sebagai salah satu lembaga aktifis Pemantauan bidang Hukum, Pemantauan Korupsi dan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Bahwa sebagai Aktifis Pemantauan Hukum, dan Pemantauan Hak Asasi Manusia LSM Gerakan Aspirasi Pemuda Rakyat Indonesia, oleh sebab itu Lembaga kami pun turut mendukung Untuk mewujudkan penyelenggaraan yang bersih dan bebas dari KORUPSI, KOLUSI, & NEPOTISME (KKN), yang ditetapkan asas-asas umum Penyelenggaraan Negara yang meliputi asas KEPASTIAN HUKUM, ASAS TERTIB PENYELENGGARAAN NEGARA, ASAS KEPENTINGAN UMUM, ASAS KETERBUKAAN, ASAS PROFESIONALITAS DAN ASAS AKUNTABILITAS.
Pengaturan tentang PERAN SERTA MASYARAKAT dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Dengan Hak dan Kewajiban yang dimiliki masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah melaksanakan CONTROL SOCIAL secara optimal terhadap Penyelenggaraan Negara, dengan tetap menaati rambu-rambu hukum yang berlaku.
Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) diwujudkan dalam bentuk antara lain MENCARI, MEMPEROLEH, MEMBERIKAN DATA ATAU INFORMASI tentang TIPIKOR dan Hak menyampaikan Saran dan Pendapat secara Sehubungan dengan TIM Investigasi Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Aspirasi Pemuda Aceh Rakyat Indonesia Berdasarkan Laporan serta Keluhan masyarakat dibeberapa titik Objek PENGADUAN MASYARAKAT khususnya dalam Pendampingan Lembaga GASPARI.
Hal ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum dengan Mempertimbangkan hal-hal sebagai Berikut :
- Bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;
- Bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
- Bahwa untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib,dan damai;
- Bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Maka atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat GERAKAN ASPIRASI PEMUDA ACEH RAKYAT INDONESIA.
Berikut link Conections CYBERNET
Link Website Resm
Langganan:
Postingan (Atom)